Hari ini aku berjalan dan berkeliling, diluar sana aku menemukan berbagai ekspresi, namun aku hanya tertarik pada dua raut wajah. keduanya menyiratkan kontradiksivitas ekspresi. Keduanya pun adalah pemandangan lazim yang sering kutemui sebagai suatu akibat dari pengalaman setiap manusia.
Ekspresi pertama merupakan pemandangan keindahan. Disana aku melihat wajah yang dibalut senyum keceriaan. Kesenangan bagai seorang yang baru keluar dari kegelapan dan menemukan cahaya. Bagai seorang yang baru saja bebas dari tekanan. Bagai seorang yang baru saja menendang masalah dari dirinya. Bagai seorang yang baru saja mengeluarkan jiwanya dari dilematika kehidupan. Tampak seperti cahaya yang abadi yang selalu dan terus bersinar. Bahkan tanpa dorongan apapun dia mampu terus memancarkan cahaya, dia mampu memancarkan keceriaan, bagai surya yang tak peduli apakah manusia suka atau tidak dengan cahayanya. Suatu pesan tersirat dari ekspresinya, suatu ajakan untuk saling tersenyum terhadap semua orang yang ditemuinya. Senyum yang sama sekali memusnahkan kebencian, tawa canda yang sama sekali memadamkan amarah, keceriaan yang sama sekali tak dapat digambarkan antara pena, kertas dan ide untuk menulis. Disana aku menemukan sebuah harapan. Harapan untuk menyapa dan sekedar berkata "hai apakabarmu teman?"
Ekspresi kedua adalah kehancuran, dimana aku melihat suatu dunia yang sama sekali buram, kelam tanpa keceriaan. Disanalah aku menemukan suatu pemikiran bahwa ada saatnya aku berada disana. Suatu posisi yang berusaha dimusnahkan oleh para penganut hedonisme sejati. Suatu ekspresi yang dianggap hilang harapan. Suatu tatapan hampa dan kosong tanpa langkah yang pasti. Bagaikan seseorang yang baru menemukan kegelapannya, bagaikan seseorang yang berada dibawah awan mendung kehidupannya. Tak ada lagi langkah yang dapat dilakukan untuk suatu pencapaian, seolah segalanya adalah tak mungkin. Tak ada cahaya yang akan meneranginya lagi. Seolah dunia ini berhenti berputar dan seolah segala usaha adalah sia-sia.
Setelah aku menemukan kedua ekspresi itu lalu aku segera beranjak meninggalkan semuanya itu. Itulah kenyataan yang tertangkap oleh pikiranku. Selalu saja ada dalam setiap raut wajah ketika mendapatkan suatu pengalaman. Dan aku pun yakin, suatu saat nanti aku akan seperti itu. Saat ini yang kuinginkan hanyalah ekpresi kedua pada kulitku dan ekspresi pertama pada hatiku. Aku ingin mengelabui orang-orang disekitarku, aku ingin menyimpan dendam ini sendiri, aku ingin semua amarah ini kukubur dan kubiarkan ia berada disana selamanya tanpa ada yang mengetahuinya. Seolah emas yang dicari orang, namun bagiku itu hanyalah kebusukan yang patut kusimpan dalam kotak rahasia lalu kukubur sedalam-dalamnya di antara pondasi rumah, lalu kubeton sekeras mungkin bahkan sebuah bom atom pun tak dapat menghancurkannya.
Ahh..ternyata mentari telah mulai menampakkan cahayanya dan secangkir teh hangat telah mulai dingin serta sebungkus rokok pun telah berubah menjadi kotak kosong...emmm...saatnya tidur......
Continue Reading...
Ekspresi pertama merupakan pemandangan keindahan. Disana aku melihat wajah yang dibalut senyum keceriaan. Kesenangan bagai seorang yang baru keluar dari kegelapan dan menemukan cahaya. Bagai seorang yang baru saja bebas dari tekanan. Bagai seorang yang baru saja menendang masalah dari dirinya. Bagai seorang yang baru saja mengeluarkan jiwanya dari dilematika kehidupan. Tampak seperti cahaya yang abadi yang selalu dan terus bersinar. Bahkan tanpa dorongan apapun dia mampu terus memancarkan cahaya, dia mampu memancarkan keceriaan, bagai surya yang tak peduli apakah manusia suka atau tidak dengan cahayanya. Suatu pesan tersirat dari ekspresinya, suatu ajakan untuk saling tersenyum terhadap semua orang yang ditemuinya. Senyum yang sama sekali memusnahkan kebencian, tawa canda yang sama sekali memadamkan amarah, keceriaan yang sama sekali tak dapat digambarkan antara pena, kertas dan ide untuk menulis. Disana aku menemukan sebuah harapan. Harapan untuk menyapa dan sekedar berkata "hai apakabarmu teman?"
Ekspresi kedua adalah kehancuran, dimana aku melihat suatu dunia yang sama sekali buram, kelam tanpa keceriaan. Disanalah aku menemukan suatu pemikiran bahwa ada saatnya aku berada disana. Suatu posisi yang berusaha dimusnahkan oleh para penganut hedonisme sejati. Suatu ekspresi yang dianggap hilang harapan. Suatu tatapan hampa dan kosong tanpa langkah yang pasti. Bagaikan seseorang yang baru menemukan kegelapannya, bagaikan seseorang yang berada dibawah awan mendung kehidupannya. Tak ada lagi langkah yang dapat dilakukan untuk suatu pencapaian, seolah segalanya adalah tak mungkin. Tak ada cahaya yang akan meneranginya lagi. Seolah dunia ini berhenti berputar dan seolah segala usaha adalah sia-sia.
Setelah aku menemukan kedua ekspresi itu lalu aku segera beranjak meninggalkan semuanya itu. Itulah kenyataan yang tertangkap oleh pikiranku. Selalu saja ada dalam setiap raut wajah ketika mendapatkan suatu pengalaman. Dan aku pun yakin, suatu saat nanti aku akan seperti itu. Saat ini yang kuinginkan hanyalah ekpresi kedua pada kulitku dan ekspresi pertama pada hatiku. Aku ingin mengelabui orang-orang disekitarku, aku ingin menyimpan dendam ini sendiri, aku ingin semua amarah ini kukubur dan kubiarkan ia berada disana selamanya tanpa ada yang mengetahuinya. Seolah emas yang dicari orang, namun bagiku itu hanyalah kebusukan yang patut kusimpan dalam kotak rahasia lalu kukubur sedalam-dalamnya di antara pondasi rumah, lalu kubeton sekeras mungkin bahkan sebuah bom atom pun tak dapat menghancurkannya.
Ahh..ternyata mentari telah mulai menampakkan cahayanya dan secangkir teh hangat telah mulai dingin serta sebungkus rokok pun telah berubah menjadi kotak kosong...emmm...saatnya tidur......