Teringat pada medio dekade 90-an ketika saya memulai menjajaki sekolah lanjutan pertama, tempat dimana saya mengenal sesuatu yang bernama organisasi, tempat dimana saya dicekoki pemahaman bahwa saya bukan anak sekolah dasar lagi, tempat dimana saya melihat warna seragam yang berbeda daripada 6 tahun kebelakang. Penataran P4, mereka menyebutnya seperti itu, disanalah setiap organisasi yang ada mempromosikan kehebatan-kehebatannya, disanalah manusia-manusia dengan pemikirannya berusaha dikendalikan suatu hirarki dimana ada pimpinan, kemudian ada wakilnya, ada bendaharanya, sekretaris dan keseluruhannya menjalankan suatu alur yang sangat-sangat terstruktur seperti yang terpampang pada karton buluk yang bertitle struktur organigram. Iming-iming yang begitu manis dipaparkan nyaris sempurna dan seolah-olah membodohi kami-kami yang baru menginjakkan kakinya pada level pendidikan yang lebih baik dari tempat kami semula berseragam putih merah. Rentetan teori mengenai keuntungan kami bergabung dalam susunan sistem yang mereka sebut ekstrakurikuler begitu membuai ibarat saya dan teman-teman yang baru masuk sekolah berada pada hamparan padang pasir yang begitu luas dan didepan kami melihat ada genangan air sedangkan dahaga begitu dahsyat mengeringkan tenggorokan yang membuat kami-kami berlarian mendekatinya yang pada akhirnya saya sadar bahwa itu semua hanyalah fatamorgana. Saya sempat tertarik bergabung dengan sebuah organisasi yang memiliki unsur kemanusiaan, kemudian saya pun mengambil formulir untuk diisi kemudian diserahkan kembali disertai dengan beragam syarat-syarat yang mudah untuk dipenuhi. Hingga pada akhirnya saya tahu bahwa saya dianggap tidak bisa bergabung karena dianggap tidak memenuhi persyaratan tanpa alasan yang cukup kuat hingga saya benar-benar menerimanya sebagai sebuah pembenaran. Belakangan saya sadar bahwa bibit-bibit busuk seperti yang ada dalam skenario mendapatkan jatah kursi di gedung parlemen sudah mulai tumbuh dikalangan anak belasan tahun negeri ini.
Tiga tahun terlewati dan dalam masa tersebut saya belum tergabung dalam organisasi-organisasi tersebut, saya merasa lebih senang berorganisasi yang sangat-sangat tidak terstruktur, yaitu nongkrong dengan anak-anak berandalan sekolah yang menganut pemikiran rock n' roll dan terkadang berkumpul bersama mereka terasa seperti sebuah candu, kadang menjadi sebuah muara ketika ada masalah personal dan orang-orang yang anti kemapanan tersebutlah yang mau dan benar-benar mendengarkan. Sempat suatu waktu saya ditegur oleh salah seorang yang tergabung dalam organisasi intra sekolah dengan nada sinis "Penampilan berantakan, tidak pernah rapih, tidak mencerminkan sebagai orang yang berpendidikan, lihat saya yang bisa menjadi anggota OSIS, dekat dengan guru-guru serta memiliki prestasi, kamu dengan keadaan seperti itu mau jadi apa??" Terus berlanjut "Saya memberikan prestasi bagi sekolah, mengharumkan nama sekolah, menjadi panutan yang lain dan mampu mengatur serta berjiwa pemimpin" DAMN!! That's really hurt me! dan saya pun tidak menghiraukan perkataannya hingga dia tahu bahwa dia kalah dalam bersaing mendapatkan nilai untuk beberapa pelajaran sehingga ranking nya berada dibawah saya yang cenderung urakan dan berpenampilan sekenanya. Sambil tersenyum mengejek saya berkata"Wah hebat euy, kamu bisa berprestasi seperti ini" sambil saya menunjukan rentetan angka pada raport yang cukup untuk menjatuhkannya bukan dengan kata-kata semata atau bacot belaka.
Arogansi kaum terorganisir sekolah semakin menjadi-jadi setelah yakin bahwa orang-orang berpengaruh yang mereka sebut pembina akan berdiri untuk mereka, hingga suatu waktu saya harus berhadapan langsung dengan buku hitam sekolah karena saya berani melawan dan berkonsekuensi untuk dideportasi dari institusi pendidikan tersebut. DAMN!! One more time!! I Got this sucks thing! Sejujurnya hal yang paling mengasikkan dari kejadian-kejadian tersebut adalah saya bisa merasakan hawa penuh tantangan, suasana perang mulut dan juga upaya perlawanan yang begitu gencar saya lakukan seperti ritme lagu-lagu yang acap kali saya dengarkan ketika saya kesepian. Teringat akan sebuah ikrar seorang skinhead dinegeri paman Sam yang filmnya saya lihat beberapa kali untuk saya mengerti apa maksudnya "Aku bukanlah Domba yang bisa digembalakan, Aku memiliki kebebasan berpikir, bertindak tanpa ada otoritas yang mengaturku, tanpa ada aturan yang mengikatku, tanpa ada tembok yang membatasiku. Do It Yourself!" kira-kira begitu potongannya (saya sudah lupa karena film tersebut saya tonton beberapa tahun yang lalu dan CDnya hilang). Terinspirasi dari tontonnan-tontonan yang serupa serta dibantu dengan lirik-lirik lagu Punk yang selalu saya perdengarkan melalui tape ringkih yang berada dipojokan kamar pengap, membuat saya begitu yakin akan setiap tindakan saya.
Perlawanan-perlawanan kepada organisasi-organisasi sekolah pun terus berkumandang sepanjang saya mengenyam bangku pendidikan, bahkan terus berlanjut hingga saya menduduki jenjang Universitas, hingga suatu Partai pun pernah mengajak saya menempati posisi "penting" agar Partai tersebut memenuhi syarat sebagai partai peserta pemilu, dengan sejuta prasyarat abal-abal demi suatu hasrat kepuasan orang-orang yang mencari jabatan. Damn! I totally have a bad sense if I sign with them!! Saya tetap menolak. Berdebat menjadi ritual untuk meruntuhkan kebakuan sistem-sistem organisasi-organisasi tersebut, hingga barisan ancaman dari yang kelas paling cemen hingga yang menyangkut nyawa pun dihadapi dengan semangat menggebu-gebu dan saya pun tidak pernah suka akan organisasi. Hari ini atau kapanpun saya lebih suka berjalan menantang melawan arah berlawanan sehingga saya bisa merasakan adrenalin yang hingga kini saya ngga tahu pasti kenapa saya harus memilih berkontradiksi dengan kemapanan organisasi. Mungkin birokrasi yang menyuburkan kebencian saya terhadap semua itu, karena saya pikir dengan beragam keteraturan organisasi itu akan muncul birokrasi-birokrasi yang menjadi alat dalam membuat kemapanan terstruktur makin subur.