"Why go home...?
She seems to be stronger,
but what they want her to be is weak
She could play pretend, she could join the game, boy!
She could be another clone" -- Pearl Jam
Continue Reading...
She seems to be stronger,
but what they want her to be is weak
She could play pretend, she could join the game, boy!
She could be another clone" -- Pearl Jam
Seorang teman lama beberapa hari yang lalu secara tidak sengaja saya temui di sebuah pusat perbelanjaan di kawasan Jakarta Selatan. Seseorang yang dulu ketika saya masih tinggal diBandung dikenal sebagai seseorang yang sangat bersahabat, sangat mudah diingat perangainya ketika ada salah seorang sahabatnya dilukai. Magna adalah wanita yang hebat, bersahabat dekat dengan orang-orang disekitarnya termasuk saya. Setelah tenggat waktu yang cukup lama tidak bertemu dengannya, Magna berubah dari seorang wanita yang ceria dan mudah akrab dengan siapa saja yang baru ditemuinya menjadi seorang Magna yang murung, tatapannya kosong, pembicaraannya seperti menyimpan bentangan rahasia yang sangat tidak mungkin diketahui lawan bicaranya. Saya sempat ragu-ragu untuk menyapanya, namun saya ingat pada luka gores di lengan sebelah kirinya yang membekas sampai sekarang dan membekas pula dalam ingatan saya dan juga sebuah tattoo tribal pada betis sebelah kanannya berukuran sekitar 15 sentimeter. Saya ingat itu semua, karena saya melihat saat penempatan tanda-tanda itu pada bagian tubuhnya yang diiringi dengan cerita mengapa Magna ingin memiliki tattoo tersebut dan cerita pendek tentang luka gores yang Magna ceritakan dengan humor.
"Magna??" saya berkata sambil menyodorkan tangan sebagai tanda untuk membangun kembali komunikasi dengannya. Dia terheran-heran lalu membalas memanggil nama saya dan saya balas dengan anggukan. Dia tersenyum seolah menemukan catatan lama yang telah hilang dan dicari-cari kembali karena isi catatannya tersebut begitu penting. Lantas setelah sedikit berbasa-basi, kami berdua, beralih ke sebuah kios disekitar situ sambil duduk-duduk dan menikmati minuman botol dingin. Jakarta begitu panas membakar, membuat kami kegerahan. Panjang lebar kami berbagi cerita yang hilang selama kami tidak saling bertemu dalam rentang waktu sekitar 6 tahun. Ada suatu perasaan penasaran dalam diri saya, mengapa Magna yang ada dihadapan saya sangatlah berbeda dengan Magna yang dulu. Magna yang dulu hidup senang, selalu ceria dan tak pernah berpikir dengan kesusahan-kesusahan seolah tak peduli bahwa kesulitan itu ada. Sedikit demi sedikit dia mulai mau menceritakannya, mengapa Magna seperti sekarang. Dia diusir keluarganya dan sempat hidup dijalanan, bagi saya adalah tidak pantas untuk seorang wanita cantik seperti Magna hidup dijalan. Hanya karena memilih berkeyakinan sendiri dan mau merubah jalan hidupnya, dia diusir dan dianggap tidak pernah ada dalam keluarganya. Cerita tragis yang memang nyata dan sangat sulit diterima bagi saya dan mungkin bagi beberapa orang teman-temannya. Magna berpacaran dengan seorang pria yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan dirinya dan keluarganya. Sampai akhirnya Magna lebih memilih Pacarnya ketimbang keluarganya sendiri, karena dia begitu mencintai pria tersebut hingga dia diusir dari hubungan kerabat kandungnya.
"Magna??" saya berkata sambil menyodorkan tangan sebagai tanda untuk membangun kembali komunikasi dengannya. Dia terheran-heran lalu membalas memanggil nama saya dan saya balas dengan anggukan. Dia tersenyum seolah menemukan catatan lama yang telah hilang dan dicari-cari kembali karena isi catatannya tersebut begitu penting. Lantas setelah sedikit berbasa-basi, kami berdua, beralih ke sebuah kios disekitar situ sambil duduk-duduk dan menikmati minuman botol dingin. Jakarta begitu panas membakar, membuat kami kegerahan. Panjang lebar kami berbagi cerita yang hilang selama kami tidak saling bertemu dalam rentang waktu sekitar 6 tahun. Ada suatu perasaan penasaran dalam diri saya, mengapa Magna yang ada dihadapan saya sangatlah berbeda dengan Magna yang dulu. Magna yang dulu hidup senang, selalu ceria dan tak pernah berpikir dengan kesusahan-kesusahan seolah tak peduli bahwa kesulitan itu ada. Sedikit demi sedikit dia mulai mau menceritakannya, mengapa Magna seperti sekarang. Dia diusir keluarganya dan sempat hidup dijalanan, bagi saya adalah tidak pantas untuk seorang wanita cantik seperti Magna hidup dijalan. Hanya karena memilih berkeyakinan sendiri dan mau merubah jalan hidupnya, dia diusir dan dianggap tidak pernah ada dalam keluarganya. Cerita tragis yang memang nyata dan sangat sulit diterima bagi saya dan mungkin bagi beberapa orang teman-temannya. Magna berpacaran dengan seorang pria yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan dirinya dan keluarganya. Sampai akhirnya Magna lebih memilih Pacarnya ketimbang keluarganya sendiri, karena dia begitu mencintai pria tersebut hingga dia diusir dari hubungan kerabat kandungnya.
Saya kira dulu keluarga Magna adalah keluarga yang cukup memberi kebebasan bagi anaknya. Hubungan Anak dan orang tua hancur hanya karena si anak mau memilih jalan sendiri. Memang maksud kedua orang yang menjadi cikal bakal Magna tentang keyakinan adalah baik, mereka menginginkan anaknya agar dapat tumbuh dewasa besar dan berkeluarga sesuai dengan pikirannya, sebuah jebakan stereotip yang sangat-sangat dipaksakan pada pemikiran anak muda sekarang. Seolah teguh hati, Magna akhirnya lebih memilih pada kata hatinya sendiri dan mengikuti pacarnya. Pada pertemuan tersebut, Magna menceritakan kepedihannya, saya sangat miris mendengarnya. Ketika saya melihat wajahnya, saya seperti menemukan jiwanya yang sudah tidak sempurna karena digerogoti masalah hidup. Antara pilihan dan takdir. Antara kehidupan dan kebenaran. Mana yang seharusnya Magna pilih dan lalui. Pemikiran manusia modern hampir tidak ada bedanya dengan pola pikir manusia-manusia lama, begitu juga kultur budaya negeri ini begitu kuat mengakar dan tertanam dalam turun temurun. Pastinya si anak harus tunduk kepada orang tua dan orang tua memiliki hak penuh atas pemilihan jalan si anak, ditambah lagi jika anak tersebut adalah seorang perempuan yang hidupnya seperti telah terkunci oleh batasan-batasan orang tua dan lelaki. Kasih sayang orang tua kadang justru yang paling tidak patut untuk dilawan demi keluar dari kekangan yang mengunci jalan hidupnya menuju suatu kebebasan. Apakah arti kebebasan jika karenanya membuat hati orang tua yang mengasihi dan menyayangi menjadi menderita juga? bukankah itu hanya perpindahan derita juga?
Magna tak kurang menderita daripada perempuan-perempuan lain yang hidup dibawah penindasan aturan-aturan norma dan budaya. Penderitaan disini bukan sebagai gagasan, hanya sebagai akibat. Akibat memilih antara yang terbaik untuk diri sendiri atau terbaik untuk orang lain. Akan tetapi dimana ada derita, maka disana pun akan ada suka, suka karena bisa mengikuti kata hati dan keinginan diri tetapi terlingkup derita karena rasa bersalah yang sangat dalam atau derita karena rasa tidak sependapat dengan orang tua. Memang orang tidak akan merasakan penderitaan Magna jika tidak mengerti atau tidak mengetahuinya, termasuk juga orangtuanya sendiri. Begitu mengerti maka orang-orang disekitar Magna akan sangat menderita karena tidak bisa berbuat sesuatu.
Hingga saat ini Magna masih menjalani kisah kehidupan suami istri dengan bahagia bersama seorang lelaki yang tidak disetujui oleh kalangan keluarganya sendiri. Dia terus-menerus berpikir, apakah dia bersalah karena memilih jalan hidupnya sendiri sehingga harus menderita demi rasa sukacita dengan suaminya. Perang batin ini akan terus bergejolak hingga datangnya Deux ex machina (Tuhan dari mekanisme) dengan kata lain Magna harus menunggu suatu kekuatan atau kejadian yang datang secara tak terduga datang menyelamatkannya dari puncak kesulitan. Tapi saya yakin bahwa Magna adalah perempuan yang kuat dan yakin akan pilihannya, bahkan mampu untuk membunuh setiap rasa derita yang terus mengikuti kehidupannya. She's a rebel!
NB: semuanya hanya karangan fiktif, bila ada kemiripan tokoh dan cerita mohon maaf -- Yafet awal 2009
Magna tak kurang menderita daripada perempuan-perempuan lain yang hidup dibawah penindasan aturan-aturan norma dan budaya. Penderitaan disini bukan sebagai gagasan, hanya sebagai akibat. Akibat memilih antara yang terbaik untuk diri sendiri atau terbaik untuk orang lain. Akan tetapi dimana ada derita, maka disana pun akan ada suka, suka karena bisa mengikuti kata hati dan keinginan diri tetapi terlingkup derita karena rasa bersalah yang sangat dalam atau derita karena rasa tidak sependapat dengan orang tua. Memang orang tidak akan merasakan penderitaan Magna jika tidak mengerti atau tidak mengetahuinya, termasuk juga orangtuanya sendiri. Begitu mengerti maka orang-orang disekitar Magna akan sangat menderita karena tidak bisa berbuat sesuatu.
Hingga saat ini Magna masih menjalani kisah kehidupan suami istri dengan bahagia bersama seorang lelaki yang tidak disetujui oleh kalangan keluarganya sendiri. Dia terus-menerus berpikir, apakah dia bersalah karena memilih jalan hidupnya sendiri sehingga harus menderita demi rasa sukacita dengan suaminya. Perang batin ini akan terus bergejolak hingga datangnya Deux ex machina (Tuhan dari mekanisme) dengan kata lain Magna harus menunggu suatu kekuatan atau kejadian yang datang secara tak terduga datang menyelamatkannya dari puncak kesulitan. Tapi saya yakin bahwa Magna adalah perempuan yang kuat dan yakin akan pilihannya, bahkan mampu untuk membunuh setiap rasa derita yang terus mengikuti kehidupannya. She's a rebel!
NB: semuanya hanya karangan fiktif, bila ada kemiripan tokoh dan cerita mohon maaf -- Yafet awal 2009